Niat shalat hukumnya wajib, makanya dimasukkan dalam rukun shalat.
Tempatnya adalah bersamaan dengan Takbiratul Ihram (Takbir Pertama dalam
shalat). Hal ini telah disepakati oleh para ulama, terkhusus juga Ulama
Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Didalam melakukan niat shalat (khususnya shalat fardlu), diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
- Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
- Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu.
- Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
- Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
- Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu.
Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”) saja sudah cukup.
Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung pengertian seperti termaktub dalam Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn, yaitu :
. وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله
“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.
وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة
Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat” (al-Istihdar al-‘Urfiyyah).
Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat” (al-Istihdar al-‘Urfiyyah).
Imam Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan
diatas, dan Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak
menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah (
ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ )) tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus
kepada kewas-wasan.
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ)
adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai dari awal
takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah
yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ).
Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian
takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang
demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan,
inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ ).
Menurut pendapat IMAM MADZHAB selain Imam Syafi’i, diperbolehkan
mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat
pendek.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu’ (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup”
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup”
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
اْلقَلْبُ مُحَلُّهَا بِفِعْلِهِ وَ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً قَصْدُ هِيَ النِّيَةُ وَ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
اْلقَلْبُ مُحَلُّهَا بِفِعْلِهِ وَ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً قَصْدُ هِيَ النِّيَةُ وَ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”
Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada باب فرائض الصوم
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam hati, dan tidak Syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam hati, dan tidak Syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu PUASA ini, mengucapkan niat tidak
disyaratkan artinya bukan merupakan syarat dari puasa. Dengan demikian
tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah. Demikian juga dengan shalat,
melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan syarat dari
shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik
melafadzkan niat (talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak
menjadikan shalat tidak sah, tidak pula mengurangi atau menambah-nambah
rukun shalat.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج بشرح المنهاج) [II/12] :
والنية بالقلب
“dan niat dengan hati”
والنية بالقلب
“dan niat dengan hati”
Al-Hujjatul Islam Al-’Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam
kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i, Juz I, Kitabus Shalat pada
al-Bab ar-Rabi’ fi Kaifiyatis Shalat ;
“niat dengan hati dan bukan dengan lisan”
“niat dengan hati dan bukan dengan lisan”
Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam
hati (tidak ada cap bid’ah), Amalan hati atau niat dengan hati.
Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati.
Sedangkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati (bukan Amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan.
Niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu.
Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;
” Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.
Sebagaimana juga dikatakan didalam kitab Fathul Qarib :
بِفِعْلِهِ وَ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً قَصْدُ هِيَ وَ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”
بِفِعْلِهِ وَ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً قَصْدُ هِيَ وَ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”
Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi’i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;
بالنيات الأعمال إنما قول لها ودلي القلب ومحلها فعله أجزاء بأول الشَّيْءِ مُقْتَرَناً قَصْدُ هِيَ وَ
“(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan,tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; (“بالنيات الأعمال إنما”)”
بالنيات الأعمال إنما قول لها ودلي القلب ومحلها فعله أجزاء بأول الشَّيْءِ مُقْتَرَناً قَصْدُ هِيَ وَ
“(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan,tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; (“بالنيات الأعمال إنما”)”
Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah Amalan hati, niat shalat
dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari
shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah
Amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul
Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun
shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak
sama dengan melafadzkan niat.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. kesunnahan ini
diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam
beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
(مسلم رواه)وَحَجًّا عُمْرَةً لَبَّيْكَ يَقُوْلُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ صَلَّى اللهِ رَسُوْلَ سَمِعْتُ قَالَ عَنْهُ اللهُ رَضِيَ اَنَسٍ عَنْ
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa
salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (الْحَجَّ
نَوَيْتُ اَوْ الْعُمْرَةَ نَوَيْتُ) “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah
atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan
ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini,
demikian juga Kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan
dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan
salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
يأتي في الحج ما على وقياسا وإن شذ أوجبه من خلاف من وخروجا القلب اللسان ليساعد (التكبير قبيل)بالمنوي (النطق ويندب)
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkanini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzandalam niat haji”
يأتي في الحج ما على وقياسا وإن شذ أوجبه من خلاف من وخروجا القلب اللسان ليساعد (التكبير قبيل)بالمنوي (النطق ويندب)
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkanini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzandalam niat haji”
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu’in Hal. 1 :
والقياس والاجماع والسنة من الكتاب واستمداده
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu’in Hal. 1 :
والقياس والاجماع والسنة من الكتاب واستمداده
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi’i, didalam kitab beliau Ar-Risalah :
ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“Selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“Selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
“Aku (Imam Syafi’i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur’an maka itu hukum Allah (al-Qur’an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur’an dan Sunnah)”
“Aku (Imam Syafi’i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur’an maka itu hukum Allah (al-Qur’an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur’an dan Sunnah)”
Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah dinamakan qiyas jika memang
tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika ada
dalilnya didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas.
Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram
adalah Amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat
haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah
apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak
apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan
niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk
menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama
Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul ‘Ain
bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-’Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal
dengan sebutan “Syafi’i Kecil” dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية
المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ
اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ
مِنْ
خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy
(Ulama Madzhab Syafi’iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj
Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
“(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati..”
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
“(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati..”
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab
yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan
Al-’Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
“dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai”
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
“dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai”
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy,
didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al
Minhaj (1/150) ;
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
“Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)”
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
“Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)”
Al-’Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam
As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan
tentang Shalat ;
ويندب النطق قبيل التكبير
ليساعد اللسان القلب
“dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati”
ويندب النطق قبيل التكبير
ليساعد اللسان القلب
“dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati”
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah
Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج
الطالبين) Juz I (163) :
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati”
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati”
Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :
“(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)”
“(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)”
Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
“Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun tempatnya niat didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu sunnah”
Dalam kitab Nihayatuz Zain Syarh Qarratu ‘Ain, Al-’Allamah Al-’Alim
Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
“adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati”
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
“adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati”
Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin
menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak
seperti saat ini, sebagian kelompok kecil yang begitu mudah membuat
tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain,
tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama
dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk
pada pendapat dalam kitab ulama syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab
ulama madzhab yang lainnya.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang
baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah
perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa
ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik.
Dengan demikian
ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh
malaikat sebagai amal bagi hamba tersebut.
Allah berfirman ;
عَتِيدٌ رَقِيبٌ لَدَيْهِ إِلَّا قَوْلٍ مِن يَلْفِظُ مَا
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Al-Qaaf : 18)
عَتِيدٌ رَقِيبٌ لَدَيْهِ إِلَّا قَوْلٍ مِن يَلْفِظُ مَا
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Al-Qaaf : 18)
يَرْفَعُهُ الصَّالِحُ الْعَمَلُ وَ الطَّيِّبُ الْكَلِمُ يَصْعَدُ إِلَيْهِ اًجَمِيع الْعِزَّةُ فَلِلَّهِ الْعِزَّةَ يُرِيدُ كَانَ مَن
‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. Al-Fathir 10)
Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah
ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah
berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.
Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan
melafadzkan niat, misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat
bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan shalat karena
Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya
dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya,
sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati.
Ulama Maliki, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya ‘alaa Syarh Al-Kabir berkata;
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
“dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat”
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
“dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat”
Jadi, pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika tanpa melafadzkan niat. Sebab mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya sebagai bagian dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal mewajibkannya bukan kesunnahan melafadzkan niat.
Demikian kami sampaikan dengan sederhana masalah melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram. Mohon saudara-saudara dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengoreksi tulisan saya, karena beberapa bagian kami sadur dari beberapa hasil Bahtsul Masail beberapa Ponpes.
0 comments Blogger 0 Facebook
Post a Comment